Aku
mendengar satu kata mengalir lembut di telingaku.
“Sakit?”
“Tidak,”
jawabku lirih. Senyum tipis dari pria casual itu menenangkan sekali. Kembali
lagi ia menunjukkan keagresifannya. Tak henti ia mencumbuiku, membuatku
terbang, merasakan oksigen di luar angkasa. Malam itu, kami sangat lelah.
“Selamat
pagi, Sayang,” bisiknya di telingaku. Kecupannya selalu mendarat hangat di
dahiku. Aku membalasnya dengan senyuman dan kecupan di bibir merahnya. Bangun
pagi dengan pelukan sudah menjadi kebiasaan.
“Hari
ini kau akan menemui dosenmu, Satria?”
“Iya.
Ada beberapa hal yang harus aku urus. Kau di sini saja, tunggu aku pulang. Aku
tidak akan lama.”
Senyumannya
seperti memaksaku mengatakan iya.
“Aku
mencintaimu, Luna.”
“Iya,
aku mencintaimu, Satria.”
Ia
meninggalkan pintu kamar itu, rambut hitam ikalnya membuatku mengenalinya
meskipun ia tampak dari belakang bahkan di kejauhan. Setelan T-shirt hitam dan
celana jeans hitam kesukaannya selalu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.
Hari
itu aku tidak memiliki schedule kuliah,
jadi aku menghabiskan sisa waktuku untuk menulis sebuah lirik lagu. Iya, aku
sangat suka menulisnya. Satria, meskipun ia seorang pelukis, pria apa adanya
itu sering kali memberikan arransemen pada lirik yang aku tulis. Itulah mengapa
aku tertarik padanya.
Dering
ponsel di atas bantal merah kesayanganku berdering. Pesan dari Satria.
“Luna, aku pulang sedikit
terlambat. Aku harus menemui dosen di rumahnya, dan sepertinya itu lumayan jauh
dari kampus. Maaf, Sayang. Kunci pintu kamar, jika kau ingin sesuatu beri tahu
aku, nanti biar Adzar yang mengirimnya untukmu. I love you.”
Pesan
singkat itu aku baca tanpa perasaan apapun. Aku biasa saja. Aku melihat
sekelilingku. Lukisan-lukisan buah karya Satria memang sangat menakjubkan. Tak
heran jika ia harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan info pekerjaan di
luar negeri itu, meskipun harus mendatangi rumah dosen yang entah ia sendiri
tidak mengetahui secara pasti di mana kediaman guru besarnya itu.
Bilik
4x4 meter berisi satu kasur, dan satu almari kecil sebenarnya tidak membuat
ruangan itu tampak sempit. Canson paper yang
berserakan dengan sejumlah box berisi pensil, conte, derwent, di lantai memenuhi ruang kosong di sana. Meskipun demikian,
entahlah, aku merasa nyaman.
Berbaring
di atas kasur yang tak begitu luas membuatku tenang. Aku mematikan komputer
jinjing hitam yang aku miliki. Aku mulai merebahkan badanku yang masih terasa
dingin setelah mandi. Aku mulai bermain dengan khayalanku.
Bernostalgia
dengan pesan-pesan yang pernah Satria kirimkan. Aku membaca history pesan kami.
Tawa kecilku pernah menenangkan suasana hati Satria ketika ia sedang dilanda
galau. Selalu dengan canda tawaku ia bisa nyaman, meskipun 2 tahun berlalu
bersamanya, kami tak pernah bosan.
“Astaga,
pintu kamar,” gumamku terkejut. Aku bangkit dari tidurku dan menuju pintu.
Belum sempat pintu itu tertutup rapat, aku melihat Adzar berdiri di depan pintu
membawakanku nasi bungkus dan coklat hangat.
“Masuklah.”
“Iya.
Aku membawakan ini. Satria yang memintanya.”
“Iya,
terima kasih.”
“Makanlah,
selagi masih hangat.”
Aku
menatap mata Adzar yang merah. Apakah ia sedang sakit? Entahlah. Kami
berbincang-bincang. Sepanjang obrolan kami, ia tampak tak begitu memperhatikan
bahan pembicaraan. Ia tampak tidak sehat.
Aku
melanjutkan makanku. Ia menemani aku makan di ruangan itu. Ia mulai bercanda
hingga membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Aku meneguk coklat hangatku.
Humornya membuatku tersedak hingga aku harus menumpahkan coklat di bajuku.
“Kau
tak apa?” ia mengusap coklat di pipi dan hidungku.
“Iya,
aku tak apa,” aku melihat matanya. Astaga, aku beru menyadari, ia sedang dalam
pengaruh alkohol.
Hatiku
mulai aneh. Sesekali aku melihat layar ponselku, menunggu Satria kembali.
Sembari mendengarkan ia bercerita, aku mengirim pesan pada Satria. Aku ingin ia
cepat pulang. Perasaanku mulai tidak tenang. Tak ada balasan apapun.
Aku
mulai merasakan ada yang aneh dengan tubuhku selang satu jam aku menghabiskan
coklat dan makananku. Oh, Tuhan, aku tidak ingin terjadi apa-apa padaku.
“Adzar,
aku mengantuk sekali.”
“Iya,
Luna. Tidurlah. Aku akan pulang. Biar aku tutup pintunya.”
Aku
tertidur siang itu, dan terbangun pukul 5 sore. Aku menemukan Satria sudah
duduk di sampingku. Sontak aku langsung memeluknya.
“Kapan
kau datang? Aku tak mendengar kau pulang?”
“Beberapa
menit yang lalu,” jawabnya datar.
Aku
terkejut melihat cermin almari yang memantulkan bayanganku. Aku hanya terbalut
selimut. Lalu di mana pakaianku? Oh, Tuhan, apa yang terjadi? Aku tidak
mengingat apa pun.
“Aku
tak pernah menyangka kita akan berhenti di jalan sempit yang berlubang,
menyulitkan. Aku bahkan seperti terjebak di ladang ranjau.”
“Satria,
aku tak mengerti.”
Tubuh
yang terbalut kulit sawo matang itu mulai menutup pintu dan tirai. Sedetik pun
ia tak menatapku. Aku mulai mengenakan pakaianku. Aku tak bisa berkata apa-apa.
Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Entahlah, aku hanya mengingat
ketika aku tersedak coklat. Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Khayalanku
mulai menerobos menelusup ke dasar samudra tak berbiota, oksigen pun tak ada.
Nafasku sesak. Tangisku memuncak.
“Katakan,
Luna. Apa yang kau ingat?”
“Aku
tak mengingat apa pun. Aku hanya ingat ketika aku meminum coklat, lalu aku
tersedak, dan...”
“..dan
Adzar melakukan apa?”
“Kau
mengetahuinya?” Ia diam tak menjawab pertanyaanku.
“Apa
yang terjadi, Satria? Katakan sesuatu?!” Nada suara mulai aku naikkan. Aku tak
bisa membayangkan jika itu terjadi. Aku tak ingin membayangkan jika itu
benar-benar terjadi.
Mata
sayupnya mulai memerah. Air hangat mulai mengalir dari sudut matanya. Peluhnya
berjatuhan. Cuacanya dingin, tapi kenapa ia berkeringat? Genggaman tangannya
sangat erat. Aku tak menjumpai tangan yang hangat. Dingin, hanya dingin yang
aku rasakan.
Tangis,
aku hanya bisa menangis. Semua telah
terjadi. Aku memeluk diriku sendiri. Aku meringkuk, aku menangis, aku
berteriak, aku histeris. Satria, ia marah pada dirinya, ia marah padaku, ia
marah pada semua.
Lukisan-lukisan
wajahku, potret diriku, ia merobeknya, ia membuangnya. Pecahan-pecahan kaca
menggores tangan dan kakinya. Hari itu, hari itu kami berlumuran darah, bukan
berdebat karena beda arah, kami tak tahu kepada siapa kami harus melampiaskan
amarah.
Aku
menyayanginya. Aku mencintainya. Satria adalah priaku, pria terakhir yang ingin
ku tuliskan namanya pada sebuah buku perjanjian suci antara aku dan dia. Bukan.
Bukan seperti ini yang aku mau.
Satria
pergi. Tanpa sepatah kata ia meninggalkanku sendiri. Belum sempat aku mengucap
kata maaf, belum sempat aku memperbaiki segalanya, ia pergi, entah ke mana,
hanya pesan terakhir yang ia kirimkan padaku.
“Luna, maafkan aku. Jaga dirimu,
dan calon anakmu baik-baik. Didik ia dengan baik. Biarkan masa lalu orang
tuanya menjadi rahasia. Cintai ia seperti kau mencintaiku, tak pernah usai, tak
pernah lelah, suka duka akan berlalu. Luna, mencintaimu tak pernah salah,
bagiku kau adalah anugrah. Saat ini, aku ingin sendiri, aku ingin kau mengerti,
sulit menerima kenyataan yang membingungkan ini. Aku harap kita akan berjumpa
lagi. Jangan sakiti dirimu.”
Aku
sendiri, menanggung bebanku seorang diri. Janin tak berdosa dalam rahimku,
bukan Satria pemiliknya. Bukan Satria calon ayahnya. Cermin retak bekas tangan
Satria menelanjangiku. Aku bukan dewi. Bukan lagi bunga, bukan seorang janda,
aku hanya debu jalanan, terkoyak angin membawa harapan. Aku ingin bertemu
denganmu, Satria. Kapan pun, di mana pun, aku mencintaimu.
writtern by Sabbihisma Debby