Jumat, 03 Juni 2016

Luna’s Mirror



Aku mendengar satu kata mengalir lembut di telingaku.
“Sakit?”
“Tidak,” jawabku lirih. Senyum tipis dari pria casual itu menenangkan sekali. Kembali lagi ia menunjukkan keagresifannya. Tak henti ia mencumbuiku, membuatku terbang, merasakan oksigen di luar angkasa. Malam itu, kami sangat lelah.
“Selamat pagi, Sayang,” bisiknya di telingaku. Kecupannya selalu mendarat hangat di dahiku. Aku membalasnya dengan senyuman dan kecupan di bibir merahnya. Bangun pagi dengan pelukan sudah menjadi kebiasaan.
“Hari ini kau akan menemui dosenmu, Satria?”
“Iya. Ada beberapa hal yang harus aku urus. Kau di sini saja, tunggu aku pulang. Aku tidak akan lama.”
Senyumannya seperti memaksaku mengatakan iya.
“Aku mencintaimu, Luna.”
“Iya, aku mencintaimu, Satria.”
Ia meninggalkan pintu kamar itu, rambut hitam ikalnya membuatku mengenalinya meskipun ia tampak dari belakang bahkan di kejauhan. Setelan T-shirt hitam dan celana jeans hitam kesukaannya selalu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.
Hari itu aku tidak memiliki schedule kuliah, jadi aku menghabiskan sisa waktuku untuk menulis sebuah lirik lagu. Iya, aku sangat suka menulisnya. Satria, meskipun ia seorang pelukis, pria apa adanya itu sering kali memberikan arransemen pada lirik yang aku tulis. Itulah mengapa aku tertarik padanya.
Dering ponsel di atas bantal merah kesayanganku berdering. Pesan dari Satria.
“Luna, aku pulang sedikit terlambat. Aku harus menemui dosen di rumahnya, dan sepertinya itu lumayan jauh dari kampus. Maaf, Sayang. Kunci pintu kamar, jika kau ingin sesuatu beri tahu aku, nanti biar Adzar yang mengirimnya untukmu. I love you.”
Pesan singkat itu aku baca tanpa perasaan apapun. Aku biasa saja. Aku melihat sekelilingku. Lukisan-lukisan buah karya Satria memang sangat menakjubkan. Tak heran jika ia harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan info pekerjaan di luar negeri itu, meskipun harus mendatangi rumah dosen yang entah ia sendiri tidak mengetahui secara pasti di mana kediaman guru besarnya itu.
Bilik 4x4 meter berisi satu kasur, dan satu almari kecil sebenarnya tidak membuat ruangan itu tampak sempit. Canson paper yang berserakan dengan sejumlah box berisi pensil, conte, derwent, di lantai memenuhi ruang kosong di sana. Meskipun demikian, entahlah, aku merasa nyaman.
Berbaring di atas kasur yang tak begitu luas membuatku tenang. Aku mematikan komputer jinjing hitam yang aku miliki. Aku mulai merebahkan badanku yang masih terasa dingin setelah mandi. Aku mulai bermain dengan khayalanku.
Bernostalgia dengan pesan-pesan yang pernah Satria kirimkan. Aku membaca history pesan kami. Tawa kecilku pernah menenangkan suasana hati Satria ketika ia sedang dilanda galau. Selalu dengan canda tawaku ia bisa nyaman, meskipun 2 tahun berlalu bersamanya, kami tak pernah bosan.
“Astaga, pintu kamar,” gumamku terkejut. Aku bangkit dari tidurku dan menuju pintu. Belum sempat pintu itu tertutup rapat, aku melihat Adzar berdiri di depan pintu membawakanku nasi bungkus dan coklat hangat.
“Masuklah.”
“Iya. Aku membawakan ini. Satria yang memintanya.”
“Iya, terima kasih.”
“Makanlah, selagi masih hangat.”
Aku menatap mata Adzar yang merah. Apakah ia sedang sakit? Entahlah. Kami berbincang-bincang. Sepanjang obrolan kami, ia tampak tak begitu memperhatikan bahan pembicaraan. Ia tampak tidak sehat.
Aku melanjutkan makanku. Ia menemani aku makan di ruangan itu. Ia mulai bercanda hingga membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Aku meneguk coklat hangatku. Humornya membuatku tersedak hingga aku harus menumpahkan coklat di bajuku.
“Kau tak apa?” ia mengusap coklat di pipi dan hidungku.
“Iya, aku tak apa,” aku melihat matanya. Astaga, aku beru menyadari, ia sedang dalam pengaruh alkohol.
Hatiku mulai aneh. Sesekali aku melihat layar ponselku, menunggu Satria kembali. Sembari mendengarkan ia bercerita, aku mengirim pesan pada Satria. Aku ingin ia cepat pulang. Perasaanku mulai tidak tenang. Tak ada balasan apapun.
Aku mulai merasakan ada yang aneh dengan tubuhku selang satu jam aku menghabiskan coklat dan makananku. Oh, Tuhan, aku tidak ingin terjadi apa-apa padaku.
“Adzar, aku mengantuk sekali.”
“Iya, Luna. Tidurlah. Aku akan pulang. Biar aku tutup pintunya.”
Aku tertidur siang itu, dan terbangun pukul 5 sore. Aku menemukan Satria sudah duduk di sampingku. Sontak aku langsung memeluknya.
“Kapan kau datang? Aku tak mendengar kau pulang?”
“Beberapa menit yang lalu,” jawabnya datar.
Aku terkejut melihat cermin almari yang memantulkan bayanganku. Aku hanya terbalut selimut. Lalu di mana pakaianku? Oh, Tuhan, apa yang terjadi? Aku tidak mengingat apa pun.
“Aku tak pernah menyangka kita akan berhenti di jalan sempit yang berlubang, menyulitkan. Aku bahkan seperti terjebak di ladang ranjau.”
“Satria, aku tak mengerti.”
Tubuh yang terbalut kulit sawo matang itu mulai menutup pintu dan tirai. Sedetik pun ia tak menatapku. Aku mulai mengenakan pakaianku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Entahlah, aku hanya mengingat ketika aku tersedak coklat. Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Khayalanku mulai menerobos menelusup ke dasar samudra tak berbiota, oksigen pun tak ada. Nafasku sesak. Tangisku memuncak.
“Katakan, Luna. Apa yang kau ingat?”
“Aku tak mengingat apa pun. Aku hanya ingat ketika aku meminum coklat, lalu aku tersedak, dan...”
“..dan Adzar melakukan apa?”
“Kau mengetahuinya?” Ia diam tak menjawab pertanyaanku.
“Apa yang terjadi, Satria? Katakan sesuatu?!” Nada suara mulai aku naikkan. Aku tak bisa membayangkan jika itu terjadi. Aku tak ingin membayangkan jika itu benar-benar terjadi.
Mata sayupnya mulai memerah. Air hangat mulai mengalir dari sudut matanya. Peluhnya berjatuhan. Cuacanya dingin, tapi kenapa ia berkeringat? Genggaman tangannya sangat erat. Aku tak menjumpai tangan yang hangat. Dingin, hanya dingin yang aku rasakan.
Tangis, aku hanya bisa menangis.  Semua telah terjadi. Aku memeluk diriku sendiri. Aku meringkuk, aku menangis, aku berteriak, aku histeris. Satria, ia marah pada dirinya, ia marah padaku, ia marah pada semua.
Lukisan-lukisan wajahku, potret diriku, ia merobeknya, ia membuangnya. Pecahan-pecahan kaca menggores tangan dan kakinya. Hari itu, hari itu kami berlumuran darah, bukan berdebat karena beda arah, kami tak tahu kepada siapa kami harus melampiaskan amarah.
Aku menyayanginya. Aku mencintainya. Satria adalah priaku, pria terakhir yang ingin ku tuliskan namanya pada sebuah buku perjanjian suci antara aku dan dia. Bukan. Bukan seperti ini yang aku mau.
Satria pergi. Tanpa sepatah kata ia meninggalkanku sendiri. Belum sempat aku mengucap kata maaf, belum sempat aku memperbaiki segalanya, ia pergi, entah ke mana, hanya pesan terakhir yang ia kirimkan padaku.
“Luna, maafkan aku. Jaga dirimu, dan calon anakmu baik-baik. Didik ia dengan baik. Biarkan masa lalu orang tuanya menjadi rahasia. Cintai ia seperti kau mencintaiku, tak pernah usai, tak pernah lelah, suka duka akan berlalu. Luna, mencintaimu tak pernah salah, bagiku kau adalah anugrah. Saat ini, aku ingin sendiri, aku ingin kau mengerti, sulit menerima kenyataan yang membingungkan ini. Aku harap kita akan berjumpa lagi. Jangan sakiti dirimu.”

Aku sendiri, menanggung bebanku seorang diri. Janin tak berdosa dalam rahimku, bukan Satria pemiliknya. Bukan Satria calon ayahnya. Cermin retak bekas tangan Satria menelanjangiku. Aku bukan dewi. Bukan lagi bunga, bukan seorang janda, aku hanya debu jalanan, terkoyak angin membawa harapan. Aku ingin bertemu denganmu, Satria. Kapan pun, di mana pun, aku mencintaimu.

writtern by Sabbihisma Debby